Walaupun ICF diharapkan merupakan wadah persekutuan seluruh masyarakat Indonesia di USA, bacaan dibawah ini ditulis dengan asumsi bahwa ICF adalah persekutuan para mahasiswa. Mengapa kejelasan ini perlu ? pertama-tama adalah kenyataan bahwa dalam ICF, hampir semua partisipannya adalah mahasiswa. Kedua, ICF tidak mungkin menangani seluruh masyarakat Indonesia di USA karena keterbatasan waktu dan sumber daya. Kesimpulan dari kedua alasan tersebut adalah bahwa ICF perlu mempertajam upaya pelayanannya, sehingga resource yang terbatas itu dapat digunakan secara efektif.

KEUNIKAN ICF

Sebagai persekutuan para mahasiswa ICF memiliki keunikannya sendiri. Pertama ia adalah bagian tak terpisahkan dari Gereja yang kudus dan am : ia adalah tangan gereja. Tapi dipihak lain sebelah kakinya berpijak pada Universitas, sebagai salah satu institusi kokoh yang kelihatannya secara cukup berhasil sudah dirampas dari Gereja dan diadopsi oleh filsafat humanisme-sekuler yang bercokol dalam rongga otak tiap cendekiawan modern (boleh percaya atau tidak : Universitas-Universitas Kristen-pun ternyata sama sekali tidak imun terhadap problem ini).

Universitas sebagai institusi, pada kenyataannya sangat sulit ditembus oleh Gereja yang akan dianggap sebagai alien. Sehingga nampaknya ICF (sebagai gerakan pribadi-pribadi yang telah dimenangkan oleh Kristus) yang berasal dari dalam tubuh institusi itu sendiri, menjadi alternatif yang penting untuk membina dan melengkapi para cendekia-wan yang sedang mempersiapkan diri untuk karier tertentu.

UNIVERSITAS SEKULER + ICF = UNIVERSITAS KRISTEN INJILI

Kita mengharapkan bahwa seorang partisipan yang belajar disuatu Universitas (walau Universitas sekuler sekalipun) jika ia juga dibina di ICF setempat, seakan-akan ia belajar pada sebuah Universitas Kristen yang Injili, yaitu suatu institusi yang :

1. Tidak hanya mempersiapkan karir saja, melainkan dipersenjatai guna berinteraksi seumur-hidup dengan kebudayaan dunia yang jahat ini.

2. Tidak hanya disiapkan untuk profesinya, melainkan juga dibina dan diperlengkapi untuk menjadi warganegara, suami-istri, orangtua, wanita dan pria milik Tuhan dalam kebudayaan yang akan menolak dia karena sistem nilainya berbeda.

3. Pada waktu ia lulus ia akan melaksanakan profesi dan karirnya dengan cara pikir yang berbeda dari hanya sekedar lulusan Universitas sekuler.

(Nigel Cameron, Christianity Today, July 1994, pp.18-19)

Jadi, untuk itu ada dua tugas penting ICF : (1) mempertobatkan cendekiawan dan membawanya pada komitmen kepada Kristus.; dan (2) mendorong mereka untuk secara kreatif mengolah dan menerapkan potensi kecendekiawanannya bagi pekerjaan Tuhan secara komprehensif dalam lingkungan profesi dan masyarakatnya.

ICF BERTUGAS UNTUK MENYADARKAN PARTISIPAN AKAN POTENSI KECENDEKIAWANANNYA

Untuk itu, para partisipan dalam ICF perlu disadarkan tentang potensi kecendekiawanan yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya. Ia harus disadarkan bahwa ia punya potensi lebih daripada hanya sekedar sebagai seseorang yang pandai + mau berbuat baik (jujur, rendah hati, sabar, rajin ke persekutuan, meng-konsel teman). Lebih lanjut ia harus dibukakan wawasan pandangnya, bahwa profesi itu jauh lebih luas daripada dunia bisnis saja, yaitu dunia pendidikan, budaya, politik dan sebagainya.

Potensi kecendekiawanan itu, misalnya dapat untuk merombak dan memperbaiki sistem nilai masyarakat. Potensi itu adalah suatu resource, talenta yang dipercayakan Tuhan kepada kita yang menuntut suatu tanggung jawab. Adalah jelas bahwa seorang cendekiawan itu punya kemampuan lebih dari saudara-saudara seiman lainnya. Ia diberi 5 talenta oleh Tuhan, bukan hanya 1. Tuhan dalam kitab Lukas telah mengatakan bahwa siapa yang diberi lebih, akan dituntut lebih. Oleh sebab itu, ia harus mengembangkannya sampai 10, bukan hanya sampai 6 atau 7. Ini adalah konsekuensinya. Pada saat yang tak terduga nanti, Tuan sang empunya talenta itu akan datang untuk meminta pertanggung-jawaban kita tentang apa yang telah kita lakukan dengan talenta itu. 1

Jadi penyadaran tentang kecendekiawanan disini sama sekali jauh dari usaha untuk mencari pengakuan atribut (seeking for recognition) atau kesombongan (pride). Sebaliknya, kecendekiawanan yang kita bicarakan disini dikonotasikan pada tanggung-jawab. 2

PENERAPAN KECENDEKIAWANAN = KARYA-NYATA SEBAGAI HASIL INTEGRASI IMAN DAN KECENDEKIAWANAN

Dengan menyadari arti rohani dari kecendekiawanannya, seorang diharapkan akan berusaha untuk meng-integrasi-kan iman dan kecendekiawanannya tersebut yang nanti akan diaplikasikan dalam karya nyatanya. Ini adalah kemempuan untuk menterjemahkan dan mengaplikasikan prinsip Kristen kedalam tindakan kongkret. Kita sama sekali tidak tertarik untuk menjadikan kekristenan sebagai suatu pelarian psikologis, dimana seseorang merasa aman masuk dalam lingkungan eksklusif orang baik-baik saja. Contoh bagi kita adalah Tuhan Yesus sendiri, yang meninggalkan surga untuk berinkarnasi untuk bekerja bagi manusia.

Dalam ICF para mahasiswa harus di-encourage untuk mempercakapkan dan mengenali arti profesinya. ICF harus memberi tempat lebih banyak untuk persoalan yang akan mereka hadapi di masyarakat nanti dan bergumul untuk mencari jawabnya dengan cara pikir Kristen yang dijiwai oleh semangat Injil. Dengan demikian, pada waktu ia bekerja nanti, hidupnya tidak akan terkompartemen/ terkotak. Hidup yang terkotak adalah suatu pseudo -integrasi dan merupakan suatu kegagalan integrasi.

TUGAS TERPENTING DAN TERBERAT ICF : TRANSFORMASI

VISI DAN NILAI HIDUP

Motivasi yang menjadi motor pelaksanaan integrasi adalah visi. Seseorang harus mengalami transformasi nilai-nilai hidup, dari nilai-nilai hidup dunia (misalnya saja materialisme) menjadi nilai hidup Kristen. Seseorang yang telah mengalami transformasi akan memiliki sikap militan untuk melaksanakan kehendak Tuhan. Satu contoh bagus untuk sikap seperti itu adalah motto yang dipilih oleh reformator Johannes Calvin : prompte et sincere in opere Dei (with readiness and whole-heartedness in God’s work).

Ia pertama-tama harus memandang dirinya sebagai seorang Kristen, seorang prajurit Kristus, yang siap melaksanakan panggilan sang panglima untuk diterjunkan dalam situasi apa saja. Prajurit, tidak pernah mendahulukan interest pribadinya. Prajurit, selalu memiliki kesiap-sediaan dan kesungguhan. Berhasil tidaknya ICF membina seseorang akan sangat ditentukan apakah ICF itu sanggup menyadarkan seseorang akan pentingnya transformasi ini, serta berpartisipasi dalam prosesnya.

Ia harus dapat menyangkal dirinya. Dalam memilih profesi, misalnya, dapatkah seseorang bersedia untuk pertama-tama melupakan impian dan cita-citanya serta memikirkan dengan serius, membuka diri terhadap semua kemungkinan ? Dan bahwa kriteria pemilihan profesi itu adalah efektifitas pelayanan dan bukan uang ? Pertanyaan apakah yang menguasai pemikirannya : Pekerjaan apa yang dapat menghasilkan banyak uang ? Perusahaan apa yang paling menjanjikan peningkatan karier ? atau Apa fungsi spesifik saya dalam rencana Tuhan ? Bagaimana saya dapat melayani Tuhan melalui profesi saya ? Seseorang biasanya tidak dapat melihat adanya banyak peluang lain selain apa yang sesuai dengan nilai yang ditanamkan oleh masyarakat, karena ia tidak bersedia menyangkal dirinya. Ia tidak bersedia membuka kacamata dunia dan mempersilahkan Tuhan untuk menganugerahkan visi baginya.

Kemudian ia harus memikul salibnya. Jika Tuhan memilihkan baginya suatu profesi yang lain dari impiannya, bersediakah ia menuruti kehendak Tuhan dan melaksanakannya ? Tuhan memang tidak pernah menjanjikan kemewahan dan kesuksesan yang sesuai dengan ukuran dunia. Mengikut Tuhan berarti menyadari adanya resiko untuk menderita karena namaNya. Tetapi berbeda dengan ukuran dunia, penderitaan bagi Tuhan adalah anugerah (Filipi 1:29). Pekerjaan Tuhan adalah suatu kesempatan bagi Tuhan untuk menerima mahkota kekal, sebab mahkota yang diterima tanpa alasan adalah meaningless.

Terakhir ia harus mengikuti Tuhan setiap hari. Artinya, secara terus-menerus ia harus berhubungan dengan Tuhan yang adalah sumber inspirasi dan sumber kekuatan. Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa jika kita mengikut Dia, maka semua problem lalu hilang. Yang Ia janjikan adalah penyertaan, kekuatan, ketahanan dan kemenangan. Setiap hari, jika ia harus melawan arus nilai-nilai dunia yang dahsyat, ketergantungan kepada Tuhan adalah syarat mutlak untuk meraih kemenangan.

PERAN ICF

Untuk melaksanakan tugas tersebut diatas, secara praktis ICF diharapkan dapat berperan sebagai :

1. Wadah Perkabaran Injil.

Memenangkan mahasiswa bagi Kristus dalam arti seluas-luasnya.

Tiap partisipan ICF harus dapat melihat hubungan yang jelas antara aktivitas-aktivitas keorganisasian spesifik yang dilakukannya dengan tujuan utamanya, yaitu untuk mengabarkan Injil kesukaan kepada semua orang.

Agar para pengurus tidak kehilangan arah aktivitasnya, maka visi tentang tujuan ICF harus diulang-ulang secara periodik.

2. Wadah pembentukan Kerangka Pikir Kristen (Christian Mind).

Transformasi nilai dimulai dengan diperkenalkannya suatu sistem pikir dan nilai baru. ICF membantu para partisipan untuk memahami kerangka pikir Kristen ini secara mendalam dengan cara mempertanyakan, mendiskusikan dan mencari model penerapannya.

3. Wadah Cultivating Christian Character & Life sebagai model alternatif masyarakat ideal.

Mengembangkan diri dalam atmosfer kekristenan, dilatih mandiri dalam kebersamaan, belajar mengenali kebutuhannya, memikirkan cara untuk memenuhinya dan menerapkannya secara kongkret.

4. Wadah latihan kepemimpinan dan berorganisasi.

Dalam ICF, partisipasi adalah kata kunci. Peserta didorong untuk mengambil suatu peran aktif yang melibatkan tanggung jawab dan yang dapat mengembangkan ketrampilan kepemimpinannya.

5. Wadah latihan bermasyarakat (sosialisasi) dan merupakan soft power gerakan moral dan hati nurani masyarakat.

Mempengaruhi masyarakat dengan nilai kekristenan tanpa memisahkan diri dengan dunia. Didunia, tapi bukan berasal dari dunia.

6. Wadah untuk membangun network antar intelektual Kristen .

Pekerjaan pelayanan Kristen, jelas merupakan suatu kerja besar dan harus dilakukan bersama-sama. Network/jaringan, akan sangat membantu untuk saling menguatkan dan efisiensi daya dan dana.

_________________________________________________________________

1 Matius 25:14-30.

2 KEKRISTENAN TIDAK MENGENAL KELAS ROHANI

Dalam Kekristenan tidak dikenal kelas rohani dari jenis profesi. Artinya, menjadi pendeta atau pekerja sosial atau dokter itu belum tentu berarti punya kelas rohani yang lebih tinggi daripada menjadi businessman atau ahli matematik. Cendekiawan Kristen itu juga tidak lebih penting peranannya daripada pekerja bangunan Kristen. Yang menentukan tingkat rohani itu hanyalah apakah pada pelaksanaan profesi itu, pribadi yang bersangkutan selalu ìfully awareî bahwa ia sedang menjalankan rencana Tuhan dalam dunia ini dalam tugas spesifik yang telah Tuhan percayakan kepadanya, serta menjalankannya dengan baik.